Penulis : Wahyu Agus Salim, M.Pd
(Telah dimuat di Koran Wawasan,
Senin 26 September 2016)
Pemerintah
melalui Menteri Pendidikan dan Kebudayaan yang baru Muhadjir Effendi
mewacanakan program yang menuai banyak pro dan kontra yaitu program belajar
seharian penuh atau diikenal dengan istilah Full day School (FDS). Fokus program ini
secara teknis pelaksanaannya berimplikasi pada perubahan durasi anak berada di
sekolah sampai sore hari sekitar pukul 17.00. sore pada jenang SD dan SMP baik
sekolah negeri maupun swasta. Alasan pemerintah yang melatar belakangi
munculnya program ini diantaranya antisipasi pemerintah terhadap perilaku liar
anak di luar sekolah dan mengawal siswa agar bisa menambah peningkatan karakter
selama disekolah seharian sehingga orang tua tidak merasa khawatir. Hingga saat
ini wacana penerapan FDS belum ada ketetapan maupun peraturan kapan dan
bagimana program ini dilaksanakan. Namun pemerintah terus melakukan kajian dan
pendalaman pada program ini meskipun resistensi masyarakat terhadap program ini
masih bergulir terutama orang tua dan guru sendiri sebagai palaksana FDS.
Disatu sisi FDS dipandang sebagai alternative untuk menambah jam
belajar, tempat bermain, memberi rasa aman pada siswa dan orang tua sehingga
orang tua bisa fokus bekerja sampai akhirnya pulang kerja sembari menjeput
anaknya di sekolah sore harinya. Kenyataan ini memang bisa saja di terapkan
namun masalah akan muncul bila orang tua bekerja sehari-hari justru dibantu
anaknya. Fenomena ini tidak sedikit dialami oleh keluarga dari kalangan kurang
mampu (miskin). Persoalan lain yang berpotensi adalah masih banyaknya sekolah
swasta dengan kondisi sumber daya pendidik, sarana dan prasarana yang
tidak memadai serta siswa yang mempunyai permasalahan keluarga tentu menambah
masalah terutama beban para pendidik dalam mengelola pembelajaran. Belum lagi
masalah jam mengajar dan masalah sensitif lainnya seperti gaji/honor guru bila
tidak sesuai pada proporsinya sangat berpotensi menimbulkan masalah baru.
Masalah
yang paling menonjol pada FDS terdapat pada orang tua siswa, contohnya bila FDS
ini sudah berjalan untuk wali murid untuk jenjang SD dan SMP tentu secara
teknis siswa harus membawa bekal sendiri, bila ditanggung sekolah berarti
orangtua siswa akan membayar kepihak sekolahan. Hal ini sepertinya menjadi
kehawatiran sebagian besar orang tua siswa. Lain lagi dengan permasalahan pada
guru yang mengajar, bila monoton dengan satu guru juga akan menimbulkan
kejenuhan tersendiri bagi siswa. Beragam variasi dalam metode dalam
memberikan materi serta program-program sekolah untuk siswa menjadi keharusan
agar konsentrasi dan otak siswa tidak mudah lelah ketika dikondisikan untuk
belajar sehari penuh. Agar siswa tidak bosan tentunya proses belajar mengajar
di buat aktif, kreatif, menyenangkan dan mencerdaskan, namun itu bukan hal yang
mudah dan murah tapi memerlukan sumberdaya manusia serta sarana prasarana
yang memadai.
Pemerintah harus Selektif
Bagi
kaluarga dengan ekonomi menengah ke atas aktifitas belajar sehari penuh sudah
menjadi rutinitas biasa meskipun formatnya berbeda. Lihat saja mereka selepas
sekolah mengikuti ekstra kulikuler disekolah lalu di tambah les musik atau
bahasa keahlian tambahan masih ditambah lagi privat dengan mendatangkan guru
ahli/ngaji ke rumahnya. Dilihat dari segi prestasi dan penguasaan materi
memang lebih baik, namun dari sisi psikologi siswa seakan terampas hak-haknya
sebagai anak yang masih pada usia bermain dan berkelompok dengan teman-teman
dirumahnya. Sampai saat ini tentunya pemerintah melalui Mendikbud melakukan
kajian mendalam dengan melibatkan berbagai unsur terkait terhadap efektifitas
program FDS ini. Meskipun program ini bukan hal yang asing lagi di
Indonesia karena beberapa wilayah sudah banyak menerapkan FDS ini namun
keputusan pemberlakuan FDS harus benar-benar selektif melihat kondisi sekolahan
dan sumber daya serta sarana yang ada. Perlu kajian mendalam terhadap
sekolahan yang sudah memberlakukan FDS dan kaijan menyeluruh pada kondisi
sekolah baik negeri maupun swasta dengan mempertimbangkan pendidik, siswa serta
orang tua dan masyarakat sekitar, bila tidak memungkinkan haruslah tidak dipasakan.
Pemerintah bisa juga berkaca pada sekolah swasta yang sudah melaksanakan FDS
sehingga tidak ada salah sasaran. Jangan sampai program FDS yang terkesan
spontanitas ini menjadi preseden buruk bagi anak dan pendidik karena salah
kelola akibat dari kebijakan yang dipaksakan.
Menurut penulis FDS
bukan satu-satunya jalan terbaik untuk membentuk karakter dan budi pekerti.
Membentuk karakter anak pada usia SD/SMP adalah masa paling mudah untuk orang
tua dan keluarga di rumah mereka masing-masing. Pemerintah bisa membuat program
tidak dengan memperpanjang belajar anak di sekolahan tapi bisa juga dengan
memberikan pendidikan/edukasi kepada orang tua bagaimana cara membentuk
kareakter anaknya berawal dari rumah dengan baik dan benar
Tidak ada komentar:
Posting Komentar