navbar atas

  • Pendaftaran Siswa BaruVISI dan MISIProfil GuruMateriArtikelGallery

    Rabu, 13 Februari 2019

    Mengawal Wacana Full Day School

    Penulis : Wahyu Agus Salim, M.Pd
    (Telah dimuat di Koran Wawasan, Senin 26 September 2016)

    Pemerintah melalui Menteri Pendidikan dan Kebudayaan yang baru Muhadjir Effendi mewacanakan program yang menuai banyak pro dan kontra yaitu program belajar seharian penuh atau diikenal dengan istilah  Full day School (FDS). Fokus program ini secara teknis pelaksanaannya berimplikasi pada perubahan durasi anak berada di sekolah sampai sore hari sekitar pukul 17.00. sore pada jenang SD dan SMP baik sekolah negeri maupun swasta. Alasan pemerintah yang melatar belakangi munculnya program ini diantaranya antisipasi pemerintah terhadap perilaku liar anak di luar sekolah dan mengawal siswa agar bisa menambah peningkatan karakter selama disekolah seharian sehingga orang tua tidak merasa khawatir. Hingga saat ini wacana penerapan FDS belum ada ketetapan maupun peraturan kapan dan bagimana program ini dilaksanakan. Namun pemerintah terus melakukan kajian dan pendalaman pada program ini meskipun resistensi masyarakat terhadap program ini masih bergulir terutama orang tua dan guru sendiri sebagai palaksana FDS.

    Disatu sisi FDS dipandang sebagai alternative untuk menambah jam belajar, tempat bermain, memberi rasa aman pada siswa dan orang tua sehingga orang tua bisa fokus bekerja sampai akhirnya pulang kerja sembari menjeput anaknya di sekolah sore harinya. Kenyataan ini memang bisa saja di terapkan namun masalah akan muncul bila orang tua bekerja sehari-hari justru dibantu anaknya. Fenomena ini tidak sedikit dialami oleh keluarga dari kalangan kurang mampu (miskin). Persoalan lain yang berpotensi adalah masih banyaknya sekolah swasta dengan kondisi sumber daya pendidik, sarana dan prasarana  yang tidak memadai serta siswa yang mempunyai permasalahan keluarga tentu menambah masalah terutama beban para pendidik dalam mengelola pembelajaran. Belum lagi masalah jam mengajar dan masalah sensitif lainnya seperti gaji/honor guru bila tidak sesuai pada proporsinya sangat berpotensi menimbulkan masalah baru.
    Masalah yang paling menonjol pada FDS terdapat pada orang tua siswa, contohnya bila FDS ini sudah berjalan untuk wali murid untuk jenjang SD dan SMP tentu secara teknis siswa harus membawa bekal sendiri, bila ditanggung sekolah berarti orangtua siswa akan membayar kepihak sekolahan. Hal ini sepertinya menjadi kehawatiran sebagian besar orang tua siswa. Lain lagi dengan permasalahan pada guru yang mengajar, bila monoton dengan satu guru juga akan menimbulkan kejenuhan tersendiri bagi siswa.  Beragam variasi dalam metode dalam memberikan materi serta program-program sekolah untuk siswa menjadi keharusan agar konsentrasi dan otak siswa tidak mudah lelah ketika dikondisikan untuk belajar sehari penuh. Agar siswa tidak bosan tentunya proses belajar mengajar di buat aktif, kreatif, menyenangkan dan mencerdaskan, namun itu bukan hal yang mudah dan murah tapi memerlukan sumberdaya manusia  serta sarana prasarana yang memadai.
    Pemerintah harus Selektif
    Bagi kaluarga dengan ekonomi menengah ke atas aktifitas belajar sehari penuh sudah menjadi rutinitas biasa meskipun formatnya berbeda. Lihat saja mereka selepas sekolah mengikuti ekstra kulikuler disekolah lalu di tambah les musik atau bahasa keahlian tambahan masih ditambah lagi privat dengan mendatangkan guru ahli/ngaji ke rumahnya. Dilihat dari segi prestasi dan penguasaan materi  memang lebih baik, namun dari sisi psikologi siswa seakan terampas hak-haknya sebagai anak yang masih pada usia bermain dan berkelompok dengan teman-teman dirumahnya. Sampai saat ini tentunya pemerintah melalui Mendikbud melakukan kajian mendalam dengan melibatkan berbagai unsur terkait terhadap efektifitas program FDS ini. Meskipun program ini  bukan hal yang asing lagi di Indonesia karena beberapa wilayah sudah banyak menerapkan FDS ini namun keputusan pemberlakuan FDS harus benar-benar selektif melihat kondisi sekolahan dan sumber daya serta sarana yang ada. Perlu kajian mendalam terhadap sekolahan  yang sudah memberlakukan FDS dan kaijan menyeluruh pada kondisi sekolah baik negeri maupun swasta dengan mempertimbangkan pendidik, siswa serta orang tua dan masyarakat sekitar, bila tidak memungkinkan haruslah tidak dipasakan. Pemerintah bisa juga berkaca pada sekolah swasta yang sudah melaksanakan FDS sehingga tidak ada salah sasaran. Jangan sampai program FDS yang terkesan spontanitas ini menjadi preseden buruk bagi anak dan pendidik karena salah kelola akibat dari kebijakan yang dipaksakan.
    Menurut penulis FDS bukan satu-satunya jalan terbaik untuk membentuk karakter dan budi pekerti. Membentuk karakter anak pada usia SD/SMP adalah masa paling mudah untuk orang tua dan keluarga di rumah mereka masing-masing. Pemerintah bisa membuat program tidak dengan memperpanjang belajar anak di sekolahan tapi bisa juga dengan memberikan pendidikan/edukasi kepada orang tua bagaimana cara membentuk kareakter anaknya berawal dari rumah dengan baik dan benar

    Tidak ada komentar:

    Posting Komentar